
Oleh: Elitaria Bestri Agustina Siregar, S.S.,M.A.
Politeknik Negeri Jakarta
JURNAL TIPIKOR – Di ruang kelas yang tenang, di balik bimbingan skripsi yang tampak akrab, atau dalam percakapan larut malam yang katanya “peduli”, ada bahaya yang sering luput dari perhatian.
Bukan kekerasan fisik, bukan juga ancaman yang terdengar jelas. Tapi kata-kata halus, personal, dan kadang terdengar memikat yang ternyata menyimpan niat tersembunyi.
Fenomena ini disebut grooming: bentuk manipulasi psikologis yang sering kali menjadi awal dari kekerasan seksual.
Manipulasi yang Datang dengan Senyum
Berbeda dari stereotip pelaku kekerasan yang kasar atau agresif, pelaku grooming justru hadir sebagai sosok “baik”.
Ia hadir sebagai dosen yang perhatian, senior yang suportif, atau pembimbing yang tampak memahami tekanan akademik. Namun dibalik perhatian itu,
perlahan dibangunlah jebakan emosional tanpa paksaan,tanpa sentuhan, hanya lewat kata-kata.
Menurut Craven dkk. (2006), grooming adalah proses sistematis untuk menciptakan kepercayaan yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk tujuan seksual. Pelaku tidak terburu-buru.
Mereka tahu persis bahwa untuk menyentuh tubuh, mereka harus terlebih dahulu menguasai pikiran.
Bahasa yang Menjebak Bahasa menjadi alat utama dalam proses ini. Seperti pisau yang dibungkus kertas kado, kata-kata pelaku sering terdengar manis, tapi punya ujung yang tajam. Pujian ambigu seperti “kamu beda dari yang lain”, candaan yang menjurus, atau pesan-pesan pribadi yang semakin intens,
semuanya membentuk relasi yang tampak wajar, tapi sebenarnya tidak.
Teori Foucault (2008) tentang kekuasaan lewat bahasa menjelaskan bahwa kata-kata bisa membentuk kenyataan,mengatur perilaku,bahkan merusak batas etis tanpa terasa. Sementara Bruner (2013) dan Koller (1970) dalam kajian linguistik menjelaskan bahwa tindak tutur (speech act) dapat digunakan untuk menggiring emosi dan keputusan seseorang tanpa perlu paksaan.
Dalam konteks kampus, di mana relasi kuasa sangat jelas antara dosen dan mahasiswa, antara senior dan junior, praktik ini sangat mungkin terjadi.
Sayangnya, sering kali korban tidak sadar sedang dimanipulasi, hingga semuanya sudah terlambat.
Ketika Hukum Tak Menyentuh Kata Masalahnya, grooming masih menjadi wilayah abu-abu dalam hukum Indonesia. Tidak ada pasal yang secara spesifik menyebut praktik ini.
Meski beberapa aturan seperti UU ITE atau UU Perlindungan Anak bisa digunakan dalam kasus tertentu, definisi grooming yang tidak eksplisit membuat penanganan hukum menjadi sulit.
Banyak kasus akhirnya mentok karena
dianggap “tidak cukup bukti”.
Penelitian oleh Yogo dkk. (2024) menegaskan perlunya pembaruan hukum yang mampu menjangkau kekerasan berbasis manipulasi psikologis. Sementara itu, Komnas HAM (2020) menyebut bahwa kesadaran publik, terutama di institusi pendidikan masih sangat rendah soal grooming.
Mendeteksi dari Kata Kabar baiknya, pola bahasa pelaku grooming bisa dikenali. Penelitian Lorenzo-Dus & Kinzel (2019) menunjukkan bahwa pelaku kerap memakai bentuk komunikasi yang berulang: dari
humor seksual terselubung, ajakan pribadi, hingga pertanyaan yang melampaui batas normal.
Jika pola ini bisa dipetakan dan dikenali sejak awal, kampus bisa membangun sistem pelaporan dini, tanpa harus menunggu korban mengalami kekerasan fisik.
Dengan bantuan teknologi analisis bahasa seperti NVivo atau Atlas.ti, percakapan bisa dianalisis secara forensik untuk menemukan indikator bahaya. Namun semua itu baru bisa berjalan jika kampus bersedia jujur melihat bahwa kekerasan tidak selalu datang dengan tangan, kadang ia datang dengan kalimat yang “terdengar biasa”.
Kampus Bukan Tempat Bagi Predator.
Di ruang akademik, kita terbiasa berpikir bahwa kekerasan hanya terjadi jika ada jeritan atau luka. Tapi grooming mengajarkan hal lain: kekerasan bisa dimulai dari percakapan yang tampak wajar. Ketika kata-kata yang seharusnya mendidik justru dipakai untuk menjebak, maka kampus telah gagal menjadi ruang aman.
Sudah saatnya kampus tak hanya fokus pada kebebasan akademik, tetapi juga kebebasan dari manipulasi. Kita harus mulai peka terhadap bahasa. Karena di dunia pendidikan, kata bisa membangun peradaban, tapi juga bisa menghancurkan seseorang, perlahan-lahan.
****Rwn
I truly appreciate your technique of writing a blog. I added it to my bookmark site list and will