Jakarta, JURNAL TIPIKOR-–– Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai lembaga, menyerukan tagar #ResetKPU sebagai desakan kuat untuk menata ulang sistem pemilihan umum (pemilu) yang dinilai bermasalah.
Koalisi ini mendesak percepatan revisi Undang-Undang Pemilu karena banyaknya persoalan yang terjadi pada lembaga penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, yang mewakili koalisi, menyatakan bahwa masalah yang dihadapi KPU sangat beragam, mulai dari sistem teknologi yang tidak memadai, kebijakan yang janggal, hingga masalah etika para anggotanya.
“Kami menyerukan kepada semuanya, kami koalisi yang juga mendorong percepatan revisi UU Pemilu, juga memiliki kepentingan untuk terus menyuarakan ini,” kata Mike dalam rilis secara daring di Jakarta, Minggu (21/09).
Baca juga Satgas Ungkap 9 Perusahaan HTI di Sekitar Tesso Nilo Diduga Tanam Kelapa Sawit
Menurut Mike, koalisi telah mencatat beberapa kebijakan KPU yang bertentangan dengan undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Di antaranya, Peraturan KPU (PKPU) mengenai kuota afirmasi minimal 30% keterwakilan perempuan, syarat bagi mantan terpidana korupsi, dan PKPU tentang penghitungan masa jabatan kepala daerah yang menimbulkan polemik.
“Kebijakan ini mencatatkan bahwa betapa sampai detik ini KPU belum menunjukkan sebagai sebuah lembaga yang benar-benar serius,” lanjutnya.
Belum lama ini, KPU juga menimbulkan kontroversi dengan menerbitkan kebijakan yang mengecualikan dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik, alias dirahasiakan.
Baca juga Korlantas Polri Bekukan Sementara Penggunaan Sirene dan Rotator, Prioritaskan Ketertiban Lalu Lintas
Meskipun kebijakan ini akhirnya dicabut, Mike menilai KPU tidak melibatkan partisipasi publik dalam proses penerbitan kebijakan. Pencabutan tersebut justru menimbulkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat.
Dari sisi sistem, KPU juga dinilai menunjukkan banyak kelemahan. Penggunaan teknologi dan informasi yang seharusnya memudahkan publik justru menjadi sumber kekisruhan pada Pemilu 2024. Contohnya adalah Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) yang tidak siap digunakan.
Parahnya, saat proses rekapitulasi berlangsung, KPU justru menutup akses tabulasi publik dengan menghilangkan tampilan diagram perolehan suara.
“Penutupan akses ini pada akhirnya menyulitkan pengawasan publik, membuka kecurigaan adanya manipulasi suara,” tegas Mike.
Baca juga BAZNAS Kota Bandung Dikeluhkan Warga, Prosedur Penyaluran Dinilai Terlalu Ketat
Selain itu, masalah etika yang dilakukan oleh Ketua KPU sebelumnya juga dianggap merusak citra lembaga. Menurut Mike, masalah etika ini menjadi cikal bakal timbulnya berbagai keabsurdan di tanah air, sebab tindakan para penyelenggara negara dan anggota parlemen dibangun dari hasil pemilu yang diselenggarakan oleh para penyelenggara pemilu.
“Ini menurut saya catatan paling memperkuat semakin memperburuk kinerja KPU,” pungkasnya.
Koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) Indonesia, Indonesian Corruption Watch (ICW), dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas.(*)