
Bencana Sumatra Jadi Peringatan Keras, Jawa Barat Terancam Jika Pengawasan Alih Fungsi Lahan Lemah
BANDUNG, JURNAL TIPIKOR – Tragedi banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjelang akhir tahun 2025, menelan ratusan korban jiwa dan meluluhlantakkan infrastruktur, menjadi sorotan serius bagi Jawa Barat.
Bencana besar tersebut dipercaya merupakan perpaduan antara faktor alam dan kelalaian manusia.
Menyikapi hal ini, Presidium Corong Jabar—wadah perhimpunan politisi, guru besar akademisi, lintas profesi, kepala daerah, dan tokoh-tokoh Jawa Barat—mendesak pemerintah daerah untuk segera bertindak.
Ketua Umum Presidium Corong Jabar, Yusuf Sumpena, S.H., S.P.M., atau akrab disapa Kang Iyus, menyatakan bahwa musibah di Sumatra harus menjadi peringatan keras bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab), dan Pemerintah Kota (Pemkot) terkait bahaya tingginya intensitas hujan, terutama yang berasal dari Kawasan Bandung Utara (KBU) dan Kawasan Bandung Selatan (KBS).
Tuntut Evaluasi Tegas Tata Kelola KBU dan KBS
Kang Iyus secara spesifik mengingatkan Pemprov, Pemkab, dan Pemkot untuk segera melakukan evaluasi dan penindakan tegas terhadap penerapan aturan tata kelola kawasan lingkungan di KBU dan KBS.
Permasalahan utama disinyalir bermula dari penetapan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT).
“KBU dan KBS adalah kawasan resapan air yang harus dipertahankan, namun kita melihat maraknya alih fungsi lahan dengan pembangunan perumahan cluster, vila, caffe, dan resto,” tegas Kang Iyus.
Menurut Kang Iyus, aturan perizinan yang termuat dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 (atau revisi terbarunya seperti Perda Nomor 2 Tahun 2016) tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang di KBU—yang menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung—serta Perda terkait IPPT di tingkat kabupaten/kota, seringkali diakali oleh para pelaku bisnis.
Modus Pelanggaran dan Pengabaian Aturan Dasar
Kang Iyus membeberkan modus yang digunakan untuk menghindari pengetatan IPPT, khususnya terkait Batas Maksimal Kepemilikan Hak Milik, yaitu 5.000 m² (0,5 hektar) per orang sesuai Keputusan Menteri Agraria/BPN No. 6 Tahun 1998.
- Pengakalan Batas Lahan: Pelaku bisnis menggunakan mekanisme planning permit untuk memecah (splitz) kepemilikan lahan menjadi di bawah batas maksimal 5.000 meter persegi, kemudian memecahnya kembali per kavling.
- Pengabaian BCR: Syarat dasar Building Cost Ratio (BCR) 80:20—yang mengatur rasio area terbangun berbanding area resapan air—seringkali diabaikan. Hal ini membuat lahan kehilangan daya resap dan pelaku bisa “bebas” dari persyaratan IPPT yang ketat.
“Saya minta Pemprov, Pemkab, dan Pemkot jangan sampai bisa diakali oleh pelaku bisnis maupun perorangan. Pengawasan strategis terhadap praktik splitz lahan dan pengabaian BCR ini sepenuhnya tanggung jawab di tingkat kecamatan,” tambah Kang Iyus.
Baca juga Satgas PKH dan Kemenhut-Polri Intensifkan Investigasi Kerusakan Hutan Pemicu Bencana di Sumatera
Peringatan Bencana di Depan Mata
Kang Iyus menutup pernyataannya dengan peringatan keras: “Jika pemerintah daerah tidak segera bersikap tegas dan membiarkan pelanggaran terus terjadi, maka tidak menutup kemungkinan kejadian tragis di Sumatra akan terjadi di Jawa Barat, dan itu bukanlah hal yang kita kehendaki.”
Corong Jabar mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit total terhadap seluruh IPPT di KBU dan KBS, menindak tegas para pelanggar, dan mengembalikan fungsi utama kawasan lindung sebagai daerah resapan air.
(Kun)





MK8 เป็นเว็บไซต์เดิมพันออนไลน์ที่น่าเชื่อถือ มาพร้อมเกมหลากหลายทั้งกีฬา คาสิโน สล็อต และยิงปลา ให้ผู้เล่นได้สัมผัสประสบการณ์ความบันเทิงที่ปลอดภัย ทันสมัย และสะดวกสบายทุกที่ทุกเวลา.
MK8 เป็นเว็บไซต์เดิมพันออนไลน์ที่น่าเชื่อถือ มาพร้อมเกมหลากหลายทั้งกีฬา คาสิโน สล็อต และยิงปลา ให้ผู้เล่นได้สัมผัสประสบการณ์ความบันเทิงที่ปลอดภัย ทันสมัย และสะดวกสบายทุกที่ทุกเวลา.