
Jakarta, JURNAL TIPIKOR — Rencana besar pemerintah untuk melakukan redenominasi rupiah ternyata punya efek kejut yang tak main-main. Di balik kebijakan teknis yang disebut “penyederhanaan nilai mata uang” itu, banyak pihak menilai ada pesan tegas dan strategis: era korupsi uang cash akan tamat!
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/2025, Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi ditargetkan rampung tahun 2026 dan berlaku penuh pada 2027. Kebijakan ini akan mengubah nilai mata uang dari Rp1.000 menjadi Rp1.
Wajib Tukar, Koruptor Terancam Melacak
Inti dari “jebakan” ini adalah kewajiban penukaran uang. Saat redenominasi berlaku, semua uang lama wajib ditukar melalui sistem perbankan dalam periode tertentu.
Di sinilah para penimbun uang haram mulai gelisah. Koruptor yang selama ini menyimpan hasil kejahatannya dalam bentuk uang tunai—miliaran bahkan triliunan—akan dipaksa keluar dari persembunyian.
Untuk menukarkan tumpukan uang tersebut, mereka harus masuk ke sistem perbankan.
- Secara otomatis, setiap transaksi penukaran dalam jumlah besar akan terekam dan bisa dilacak oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
- Jika tak berani menukarkan, maka uang mereka akan hangus dan tak bernilai sepeser pun.
Publik menilai, langkah ini bukan sekadar pembenahan ekonomi, tetapi juga strategi cerdas pemerintah untuk membungkam korupsi lewat kebijakan moneter.
Redenominasi bukanlah ancaman keras—namun cukup satu kalimat membuat koruptor tak bisa tidur nyenyak: “Uang lama segera tak berlaku.”
Sambutan Positif dari Badan Pemantau Kebijakan Publik
Ketua Umum Badan Pemantau Kebijakan Publik (BPKP) A. Tarmizi sangat merespon dan menyambut baik kebijakan tersebut.
Ia menyampaikan pandangannya pada Jurnal Tipikor, Minggu (9/11), di tengah kondisi korupsi yang sangat menggurita di negeri ini.
Menurutnya, Fenomena korupsi yang terjadi di tingkat pusat hingga daerah di Indonesia, mencakup faktor penyebab, dan dampaknya.
Korupsi di Tingkat Pusat dan Daerah
Korupsi di Indonesia adalah masalah sistemik yang mengakar, terjadi mulai dari lembaga-lembaga tinggi negara di tingkat pusat hingga ke pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota).
1. Faktor Penyebab Utama
Secara umum, faktor penyebab korupsi, baik di pusat maupun daerah, seringkali serupa, namun memiliki manifestasi yang berbeda:
- Faktor Politik (Biaya Politik Tinggi):
* Pusat & Daerah: Kebutuhan untuk mengembalikan modal politik yang besar selama proses pemilihan (Pileg, Pilpres, Pilkada) mendorong pejabat terpilih untuk melakukan korupsi begitu menjabat. - Faktor Ekonomi:
* Pusat & Daerah: Gaji atau pendapatan yang dianggap kurang memadai dibandingkan kebutuhan hidup, serta adanya gaya hidup konsumtif dan keinginan cepat kaya. - Faktor Sistem & Regulasi (Oportunitas):
* Pusat: Celah dalam regulasi yang rumit atau tumpang tindih, lemahnya pengawasan internal dan eksternal di lembaga-lembaga pemerintahan, serta kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan publik (terutama proyek besar dan pengadaan).
* Daerah: Keleluasaan dalam mengelola anggaran (terutama Dana Transfer Umum/DTU) dan kurangnya kualitas kelembagaan daerah. - Faktor Budaya:
* Pusat & Daerah: Budaya sungkan atau ketimuran yang berujung pada gratifikasi atau suap, serta rendahnya integritas, moral, dan etika pejabat publik. Adanya anggapan bahwa “uang pelicin” adalah hal yang lumrah untuk melancarkan urusan.
Korupsi di daerah seringkali berfokus pada Dana Transfer dari Pusat dan Belanja Modal Daerah karena memberikan peluang penyimpangan yang lebih besar, terutama pada pos-pos yang fleksibel, ungkapnya
Dampak Korupsi (Pusat dan Daerah)
Korupsi menimbulkan dampak masif yang merugikan negara dan masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah:
- Dampak Ekonomi:
* Melambatnya Pertumbuhan Ekonomi: Korupsi menghalangi investasi asing dan domestik karena menciptakan ketidakpastian hukum dan ekonomi berbiaya tinggi.
* Kualitas Infrastruktur Rendah: Sumber daya dialihkan ke kepentingan pribadi, menyebabkan pembangunan fasilitas publik (jalan, sekolah, rumah sakit) menjadi berkualitas rendah atau mangkrak.
* Peningkatan Utang Negara: Kerugian keuangan negara akibat korupsi seringkali ditutup dengan utang, yang membebani generasi mendatang. - Dampak Sosial dan Kesejahteraan:
* Kemiskinan Meningkat: Korupsi menciptakan mahalnya harga jasa dan pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perizinan), sehingga masyarakat miskin semakin sulit mengakses hak-hak dasar dan terpinggirkan.
* Ketimpangan Sosial: Orang kaya dan berkuasa semakin kaya (karena mampu menyuap), sementara masyarakat miskin semakin terpuruk. - Dampak Hukum dan Birokrasi:
* Hilangnya Kepercayaan Publik: Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, penegak hukum, dan proses demokrasi.
* Penegakan Hukum Tumpul: Korupsi dapat merusak sistem peradilan, di mana hukum terasa tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
* Birokrasi Tidak Efisien: Korupsi (suap dan pungli) menciptakan birokrasi yang rumit dan tidak efisien.
Secara keseluruhan, korupsi di pusat maupun daerah sama-sama merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghambat tercapainya tujuan nasional seperti keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut BPKP, kebijakan Pemerintah dalam redenominasi rupiah ini menjadi sebuah momentum emas untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
“Redenominasi ini mengirimkan sinyal kuat bahwa tidak ada lagi tempat aman bagi uang tunai hasil kejahatan. Ini adalah langkah konkret menuju transparansi finansial yang lebih baik,” tutup A. Tarmizi.

(Her)





Với giao diện mượt mà và ưu đãi hấp dẫn, MM88 là lựa chọn lý tưởng cho các tín đồ giải trí trực tuyến.
iwin – nền tảng game bài đổi thưởng uy tín, nơi bạn có thể thử vận may và tận hưởng nhiều tựa game hấp
https://t.me/s/Top_BestCasino/1