
Jakarta, JURNAL TIPIKOR-– Komisi Yudisial (KY) menyoroti secara serius kondisi kesehatan mental hakim tingkat pertama dan tingkat banding di seluruh lingkungan peradilan Indonesia berdasarkan hasil Survei Kesejahteraan Hakim di Indonesia. Survei ini mendesak perlunya dukungan psikologis yang berkelanjutan bagi para hakim.
Anggota KY sekaligus Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim, Sukma Violetta, mengungkapkan data mengkhawatirkan bahwa sebanyak 43,53 persen hakim pernah mengalami stres atau kelelahan emosional berulang, dengan 15,63 persen di antaranya mengaku cukup sering mengalaminya.
“Ini menunjukkan bahwa mayoritas hakim pernah menghadapi tekanan emosional yang berulang dan ini dapat berdampak pada kesehatan mental dan kinerja, untuk itu, memang diperlukan dukungan psikologis bagi para hakim,” kata Sukma di Jakarta, Selasa (30/9).
Baca juga Ringkasan Keputusan KPK Terkait Aset Ilham Akbar Habibie (IAH)
Faktor-Faktor Utama Penyebab Stres
Survei yang melibatkan 567 responden hakim ini menemukan adanya paradoks: meskipun sebagian besar hakim responden (59,77 persen) mengaku beban kerja telah proporsional, mayoritas hakim di saat yang bersamaan pernah mengalami stres berulang.
Menurut Sukma, kondisi ini mengisyaratkan bahwa faktor penyebab stres tidak hanya terbatas pada jumlah perkara, tetapi juga mencakup aspek lain seperti kompleksitas perkara, tekanan waktu, ekspektasi publik, atau intervensi eksternal maupun internal.
Faktor dominan penyebab stres yang ditemukan KY adalah beban kerja yang tinggi, mengindikasikan bahwa persepsi proporsionalitas belum berlaku merata di setiap satuan kerja. Selain itu, beberapa faktor penting lainnya meliputi:
- Ketidakpastian karier dan lokasi penugasan: Kekhawatiran terkait waktu mutasi yang tidak pasti, penugasan jauh dari keluarga, atau fasilitas yang kurang memadai di tempat baru.
- Kurangnya bantuan staf pendukung: Kekurangan dukungan administratif atau teknis yang memperbesar beban kerja dan mengurangi efektivitas penyelesaian tugas.
- Tekanan pihak eksternal (29,67 persen).
- Beban ganda karena tanggung jawab domestik (khususnya bagi hakim perempuan, 27,27 persen).
- Isolasi sosial karena harus menjaga citra independensi (19,38 persen).
- Tekanan moral dan dilema etik (15,07 persen).
- Terpapar perkara traumatis (10,77 persen).
“Stres pada hakim tidak hanya bersumber dari beban kerja secara kuantitatifnya, tetapi juga dari ketidakpastian karier, juga dari kurangnya dukungan struktural, juga adanya tekanan eksternal, dan adanya dilema psikologis,” tegas Sukma.
Upaya KY untuk Dukungan Psikologis
Menyikapi data ini, KY telah mengambil langkah konkret dalam dua tahun terakhir dengan memfasilitasi pelatihan sebagai bagian dari dukungan psikologis dan konseling bagi hakim. Pelatihan ini dilaksanakan bekerjasama dengan Asosiasi Psikologi Forensik yang tersebar di berbagai daerah.
“Pelatihan itu memberikan gambaran bahwa setiap hakim perlu menyampaikan apa yang membuat mereka stres dalam penanganan perkara, dan kemudian apa hal-hal yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi hal tersebut,” jelas Sukma.
Survei ini menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif terhadap 567 responden, dirancang untuk merepresentasikan seluruh tingkatan peradilan dan wilayah di Indonesia.
Hasil survei disampaikan oleh Sukma Violetta dalam webinar internasional bertajuk Status dan Kesejahteraan Hakim: Perbandingan Indonesia, Italia, dan Negara-Negara Lain pada Selasa ini.
KY berharap temuan ini dapat menjadi landasan untuk perumusan kebijakan yang lebih baik demi memastikan kesejahteraan mental dan profesionalisme hakim.
(Azi)