
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan uji materi terkait pasal-pasal dalam UU Administrasi Kependudukan yang mengatur pencantuman kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) tidak dapat diterima karena dianggap tidak jelas atau kabur.
Jakarta, JURNAL TIPIKOR-– Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini memutuskan bahwa permohonan uji materiil yang diajukan oleh Taufik Umar mengenai penghapusan atau kerahasiaan kolom agama pada dokumen kependudukan, seperti KTP dan KK, tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard/NO).
Dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 155/PUU-XXIII/2025, Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa permohonan tersebut memiliki rumusan petitum yang tidak lazim, tidak konsisten, dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas serta kuat.
“Pemohon pada petitum angka 4 dan angka 5 membuat rumusan petitum yang tidak lazim, tidak konsisten, dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat karena tidak terdapat uraian maupun argumentasi hukum yang mendukung dalam rangkaian uraian dalam posita (landasan permohonan),” ujar Suhartoyo di Jakarta, Senin (29/9).
MK juga menyoroti bahwa petitum pemohon tidak jelas karena pemohon tidak merinci secara spesifik peraturan perundang-undangan mana yang seharusnya diubah oleh pembentuk undang-undang, mengingat tidak semua peraturan merupakan kewenangan DPR dan pemerintah.
Oleh karena permohonan pemohon dinyatakan tidak jelas atau kabur, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan dan hal-hal lainnya karena dianggap tidak relevan.
Latar Belakang Permohonan
Taufik Umar mengajukan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).
Secara garis besar, pemohon meminta agar informasi agama di KTP dan KK dirahasiakan dan hanya disimpan dalam chip KTP elektronik—layaknya iris mata dan sidik jari—tanpa harus ditampilkan secara fisik.
Pemohon berpendapat bahwa informasi agama di dokumen publik seperti KTP dan KK adalah kontraproduktif dan memicu diskriminasi hingga kekerasan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam persidangan sebelumnya (3/9), kuasa hukum pemohon, Teguh Sugiharto, mengungkapkan bahwa Taufik Umar pernah menjadi korban diskriminasi dan hampir menjadi korban pembunuhan saat konflik antarkomunitas agama di Poso, Sulawesi Tengah, beberapa tahun silam.
“Taufik Umar ini dalam perjalanan dari Poso ke Kota Palu itu beberapa kali menemui sweeping KTP, yang mana pada waktu itu Saudara Taufik Umar mengetahui banyak yang mengalami kekerasan dan/atau bahkan pembunuhan karena identifikasi di kolom agama,” terang Teguh.
Meskipun demikian, berdasarkan pertimbangan yuridis, MK memutuskan untuk tidak dapat menerima permohonan tersebut.
(AZI)