
“Mereaktualisasi Tritangtu di Bumi: Menemukan Kembali Jati Diri Bangsa Sunda”
Bangsa Sunda telah lama kehilangan arah, menanggalkan falsafah dan pegangan hidupnya sendiri. Seiring waktu, kita semakin jauh dari akar, tercerai-berai tanpa benang merah yang menyatukan. Bagaikan daun-daun yang luruh dari dahan, kita bergerak tanpa tujuan, asing satu sama lain.
“Sukleuk leuweung, suklek lampih, jauh ka sintung kalapa… Lieuk deungeun, lieuk lain, jauh indung ka bapa.”
Inilah cerminan kita saat ini, kehilangan kebersamaan, tercerabut dari asal-usul. Tapi apakah ini akhir? Tidak. Ada celah, ada peluang. Kita masih memiliki kesempatan untuk kembali menata ulang kehidupan dengan prinsip Tritangtu di Bumi, sebuah konsep warisan leluhur yang bisa menjadi fondasi bagi masa depan yang lebih selaras dengan alam dan jati diri bangsa.
Politik yang Tercerabut dari Akar Budaya
Hari ini, sistem politik kita bagaikan pakaian pinjaman, tidak nyaman, tidak pas, dan sering kali terasa menyesakkan. Demokrasi yang diterapkan justru menjauhkan rakyat dari makna sejatinya. Politik partai telah menciptakan keterasingan, terutama bagi masyarakat desa yang tidak memahami afiliasi politik, namun tetap terjebak dalam mekanisme pemilihan yang manipulatif.
Kita perlu bertanya: Apakah kita telah salah memilih jalan? Apakah sistem yang kita terapkan benar-benar sesuai dengan frekuensi budaya dan karakter bangsa kita? Jika jawabannya ya, maka kembali ke konsep leluhur bukanlah kemunduran, melainkan langkah maju yang berlandaskan kearifan.
Seperti halnya Nabi Muhammad SAW yang mengembalikan masyarakat Arab Jahiliah kepada ajaran murni Ibrahim AS dan menciptakan masyarakat madani, kita pun bisa melakukan hal yang sama. Bukan kembali ke masa lalu, tetapi menghidupkan kembali esensi kearifan leluhur dalam konteks zaman sekarang.
“Teundeun di hadeuleum siem, tunda di hanjuang siang; nu ditunda alaeun sampeureun jaga.”
Artinya, kearifan yang tersimpan suatu saat akan berguna kembali. Inilah siklus kehidupan yang dahulu berada di belakang akan kembali ke depan.
Tritangtu di Bumi: Demokrasi yang Berakar dalam Profesi
Jika kita memahami Tritangtu di Bumi sebagai prinsip pembagian peran dalam kehidupan sosial dan bernegara, maka dalam konteks modern, peran-peran ini bisa kita lihat dalam bentuk profesi.
Bayangkan jika sistem politik kita bukan berdasarkan partai, tetapi berbasis asosiasi profesi, dimana para petani, nelayan, guru, dokter, insinyur, seniman, dan pekerja dari berbagai bidang memiliki perwakilan yang berbicara atas nama mereka.
Ini bukan sekadar teori. Ini adalah demokrasi yang lebih nyata, lebih jujur, dan lebih dekat dengan kehidupan rakyat. Politik tidak lagi menjadi permainan segelintir elit, tetapi benar-benar menjadi wadah aspirasi bagi mereka yang menjalankan roda kehidupan sehari-hari.
Sistem ini lebih alamiah, dan sesuatu yang alamiah adalah fitrah qudrati, sejalan dengan kehendak Tuhan.
Saatnya Bergerak: Mengikuti Zaman, Bukan Digerus Zaman
Perubahan bukan berarti menolak modernitas, tetapi justru mengimbanginya dengan kebijaksanaan.
“Ngigeulan jaman, ngigeulkeun jaman, ulah diigeulkeun jaman.”
Kita tidak boleh pasrah hanyut oleh arus. Justru, kita harus mampu menyesuaikan diri sekaligus memegang kendali atas arah perubahan itu sendiri.
Tritangtu di Bumi bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi bisa menjadi konsep alternatif yang membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk berpikir berbeda, untuk keluar dari jebakan sistem yang tidak sesuai dengan karakter kita, dan kembali pada prinsip yang lebih dekat dengan kehidupan nyata masyarakat.
Kita masih punya kesempatan. Kita hanya perlu memilih, tetap tersesat dalam sistem yang tidak berpihak pada rakyat, atau kembali ke akar dan membangun masa depan yang lebih selaras dengan jati diri bangsa.
#TritangtuDiBumi
#KembaliKeAkar
#DemokrasiBerbasisProfesi
#KearifanLokal
#bumipusaka
#BangkitSunda