
Jakarta, JURNAL TIPIKOR – Mahkamah Konstitusi (MK) telah merampungkan seluruh rangkaian persidangan untuk perkara uji materiil Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur mengenai perintangan penyidikan atau obstruction of justice (OOJ).
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Ketua MK, Suhartoyo, menyatakan bahwa sidang yang digelar pada Senin (27/10/2025) merupakan sidang terakhir untuk perkara ini.
Seluruh pihak yang terlibat, yaitu pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan kuasa Presiden (pemerintah), diberikan waktu selama tujuh hari terhitung sejak sidang terakhir untuk mengajukan kesimpulan tertulis.
“Hari ini adalah sidang terakhir untuk perkara ini. Oleh karena itu, kepada pemohon, DPR, dan kuasa Presiden juga akan mengajukan kesimpulan diberi waktu tujuh hari sejak sidang terakhir hari ini,” ujar Suhartoyo di Jakarta.
Baca juga KPK Naikkan Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh ke Tahap Penyelidikan
Setelah penyerahan kesimpulan, para hakim konstitusi akan menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutus permohonan Hasto sebelum putusan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
Keterangan Ahli Pemerintah Mendukung Konstitusionalitas Pasal OOJ
Dalam sidang terakhir, MK mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan pemerintah, yaitu Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji dan pengajar Ilmu Hukum Universitas Borobudur Ahmad Redi.
Kedua ahli tersebut sepakat bahwa Pasal 21 UU Tipikor tidak bertentangan dengan konstitusi, khususnya mengenai kepastian hukum, sebagaimana yang didalilkan oleh Hasto.
“Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah sebuah norma yang tidak bertentangan dengan nilai konstitusi, khususnya kepastian hukum,” kata Suparji.
Baca juga “BANDUNG TERJEBAK DI LINGKARAN SETAN BANJIR: SOLUSI TAK HANYA POMPA, TAPI KOMITMEN TOTAL!”
Menurut Suparji, ketentuan pasal tersebut telah memiliki batasan dan perintah yang jelas, serta memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Dia juga berpendapat bahwa pasal tersebut tidak memerlukan penafsiran baru dengan menambahkan unsur “melawan hukum”, karena perbuatan yang dilarang sudah jelas.
Senada, Ahmad Redi menambahkan bahwa pasal yang diuji Hasto telah memenuhi unsur proporsionalitas. Ia menyebut ancaman pidana penjara 3–12 tahun dan denda Rp150–600 juta adalah proporsional dengan keseriusan perbuatan menggagalkan proses hukum dalam perkara korupsi.
Permohonan Pemohon
Sebelumnya, Hasto Kristiyanto mempersoalkan Pasal 21 UU Tipikor karena dinilai ditafsirkan secara tidak proporsional dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam petitumnya, Hasto meminta MK menambahkan frasa “secara melawan hukum” dan “melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak semestinya” ke dalam pasal OOJ.
Baca juga Viral “Mencuri di Tanah Sendiri”, DLH Sukabumi Jelaskan Letak Kekeliruannya
Selain itu, ia juga mendalilkan bahwa ancaman pidana saat ini tidak proporsional, meminta agar ancaman pidana dikurangi menjadi paling lama 3 tahun. Hasto juga memohon agar kata “dan” dalam frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” dimaknai memiliki arti kumulatif.
Diketahui, Hasto sebelumnya sempat menjadi terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan dan gratifikasi terkait penggantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku.
Meski tidak terbukti merintangi penyidikan, ia terbukti terlibat dalam pemberian suap dan divonis 3 tahun 6 bulan penjara, namun tidak menjalani masa pemidanaan setelah mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
(Antara/red)




