
Bandung, JURNAL TIPIKOR – Banjir di Kota Bandung bukan lagi sekadar genangan air, melainkan sebuah krisis multi-dimensi yang telah menjadi ‘lingkaran setan’ tahunan, mengancam ekonomi, infrastruktur, dan keselamatan warga, terlebih saat ini Kota Bandung sudah memasuki musim penghujan, hal tersebut disampaikan tegas Ketua Badan Pemantau Kebijakan Publik (BPKP) Kota Bandung, Heri Irawan kepada Jurnal Tipikor, Senin (27/10).
Meskipun Pemerintah Kota melaporkan adanya tren penurunan titik terdampak, analisis menunjukkan bahwa akar masalah utama belum terselesaikan, menjebak kota dalam skema penanganan yang mahal dan reaktif.
KRISIS AKAR RUMPUT: SIKLUS HULU, HILIR, DAN PERILAKU
Kajian mendalam mengidentifikasi bahwa upaya penanggulangan teknis, seperti pengoperasian 27 Rumah Pompa dan 15 Kolam Retensi, seringkali kalah cepat oleh tiga faktor utama yang saling terkait:
- “Kiamat” di Bandung Utara (KBU): Alih fungsi lahan dari area resapan menjadi beton di wilayah hulu terus berlangsung. Hal ini secara drastis meningkatkan debit air permukaan yang menghantam kota dengan kecepatan dan volume yang tak tertampung oleh sistem drainase lama. Ini adalah bom waktu lingkungan yang diabaikan.
- Drainase Kota yang “Sakit Parah”: Sistem drainase yang sempit, dangkal, dan usang kini berfungsi layaknya bendungan mini akibat sumbatan masif. Ironisnya, biang keladinya adalah sampah dan sedimentasi yang menumpuk, secara efektif melumpuhkan investasi miliaran pada infrastruktur pengendalian air.
- Anatomi Sungai yang Tercekik: Pembangunan liar di sepanjang sempadan sungai mempersempit badan air, mengubah fungsi sungai dari jalur evakuasi air menjadi kanal yang tercekik. Upaya normalisasi dan pengerukan menjadi sia-sia jika penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang tetap lemah.
BANJIR BUKAN BENCANA ALAM MURNI, TAPI BENCANA MANUSIA
“Banjir di Bandung adalah manifestasi dari kegagalan kolektif. Ini bukan hanya tentang curah hujan tinggi, tapi tentang perilaku membuang sampah sembarangan dan lemahnya kontrol terhadap pembangunan liar di hulu,” tegas, ungkap heri
“Setiap kali kita membuang sampah ke sungai atau membiarkan satu hektar lahan di KBU diubah menjadi bangunan, saat itu juga kita mengurangi daya tahan kota.”, Ujarnya
JALAN KELUAR: DARI REAKTIF MENJADI HOLISTIK
Penanggulangan banjir tidak bisa lagi dilihat hanya dari kacamata infrastruktur hilir semata. Solusi yang ditawarkan harus bersifat holistik dan melibatkan komitmen politik total:
- Audit dan Pengendalian KBU: Memperketat pengawasan perizinan, melakukan audit lingkungan, dan memaksimalkan pembangunan sumur imbuhan di kawasan hulu dan tengah kota untuk mengembalikan fungsi resapan.
- Revolusi Kebersihan dan Penegakan Hukum: Mengubah program Bebersih Bandung dari sekadar event menjadi kultur harian. Selain itu, penindakan tegas terhadap pemilik bangunan yang menyumbat drainase atau berdiri di sempadan sungai harus menjadi prioritas tanpa kompromi.
- Sinergi Lintas Batas: Menguatkan kolaborasi dengan BBWS Citarum dan Pemerintah Daerah di Bandung Raya untuk penanganan DAS Citarum Hulu secara terpadu, ungkap Heri.
Pada kesimpulannya, Heri mengatakan bahwa Kota Bandung berada di persimpangan jalan: terus bergantung pada pompa dan pengerukan yang hanya menawarkan solusi sementara, atau mengambil langkah drastis dengan menegakkan tata ruang, mengontrol hulu, dan mendisiplinkan warganya.
Banjir akan terus berulang dan semakin parah jika akar masalah—yakni alih fungsi lahan dan sampah—tidak dicabut tuntas. Waktunya bagi Bandung untuk berhenti hanya “membersihkan” dan mulai “menyembuhkan.”, tutup Heri
(Fjr)





QQ88 media là thương hiệu cá cược uy tín top đầu tại Châu á, mang đến kho game đồ sộ cùng nhiều khuyến mãi hấp dẫn