
Jakarta, JURNAL TIPIKOR- Pendiri Haidar Alwi Institute R. Haidar Alwi mempertanyakan motivasi di balik revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Apakah murni untuk penegakan hukum yang lebih baik, atau justru hanya untuk melindungi kepentingan tertentu?” kata Haidar dalam keterangan diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut Haidar, revisi tersebut memungkinkan jaksa melakukan penyelidikan dan penyidikan sendiri, mengintervensi penyidikan Polri, serta menentukan kapan suatu perkara naik lidik dan sidik maupun kapan suatu perkara dilanjutkan atau dihentikan.
“Bahkan, menentukan sah atau tidaknya penangkapan dan penyitaan yang menjadi kewenangan kehakiman,” sambung dia.
Baca juga KPK Buka Opsi Panggil Ketum Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno dan politikus Ahmad Ali
Haidar menjelaskan bahwa KUHAP telah jelas mengatur diferensiasi fungsional atau pembagian tugas dan kewenangan antaraparat penegak hukum. Fungsi penyelidikan dan penyidikan diamanahkan kepada Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), sementara fungsi penuntutan menjadi kewenangan kejaksaan.
“Akan tetapi, pada praktiknya jaksa juga menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan. Padahal, baik dalam KUHAP, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan asas hukum lex specialis, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan jaksa sebagai penyidik, melainkan sebagai penuntut umum,” ujarnya.
Menurut dia, penyimpangan kewenangan seperti inilah yang ingin dilegalisasi melalui Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP dengan kedok asas dominus litis (pengendali perkara).(*)
“I agree with your points, very insightful!”